Cerita ini tak menarik lagi
kamu bukan yang dulu
serasa asing aku dengan mu
hatiku bukan batu
yang keras, hanya diam, dan membisu
aku punya perasaan
aku bisa merasa perubahan pada dirimu
aku sangat mengenalmu
dan kamu tidak seperti ini
apa yang terjadi
kenapa kamu sedingin ini?
kemana hilangnya perhatianmu?
sudah terbagikah?
apakah masih cinta itu disana?
telah pudarkah?
masihkah kau peluk smua janji dan mimpi kita?
jika memang tidak lagi,
maka buang saja semua
biar aku tak tertidur
dalam indahnya mimpi
biar asaku tak terlalu tinggi
hingga ku berharap terbang bersama kepakanmu
bicaralah...
jangan diamkan aku!
jika semuanya masih tersimpan rapi
maka ada apa dengan dirimu?
tak biasanya kamu seperti ini
bicaralah...
smoga kamu punya alasan yang cukup
untuk membuatku mengerti
cinta...
=LOVE Liric=
Jumat, 30 Desember 2011
Kamis, 22 Desember 2011
Keluh dan Kesah
Heii..
kamu raga yang sombong!
untuk apa mengeluh?
buang semua kesahmu itu
sadarlaah ...
Raga ini hanya titipanNya
jadi biarkan saja
terserah padaNya
mau diapakanNya raga ini
apakah kamu takut
cantik dan tampanmu hilang
hanya karna sedikit cacat yang diberikan?
sadarlah...
wahai raga yang tertidur lelap!
mungkin kamu buruk dimata dunia
tapi percayalah
Tuhan tak kan menilai Indah ragamu
tapi cantik hatimulah
keindahan yang sempurna!
kamu raga yang sombong!
untuk apa mengeluh?
buang semua kesahmu itu
sadarlaah ...
Raga ini hanya titipanNya
jadi biarkan saja
terserah padaNya
mau diapakanNya raga ini
apakah kamu takut
cantik dan tampanmu hilang
hanya karna sedikit cacat yang diberikan?
sadarlah...
wahai raga yang tertidur lelap!
mungkin kamu buruk dimata dunia
tapi percayalah
Tuhan tak kan menilai Indah ragamu
tapi cantik hatimulah
keindahan yang sempurna!
TULISANKU BUAT MAMA
Janggal sekali rasanya ketika aku mulai merangkai kata demi kata menjadi sebuh surat untukmu, Mama. Kenapa tidak, ini bukanlah ritual yang biasa kita lakukan, malah tidak pernah sekalipun aku berkirim surat, apalagi surat ini aku tujukan untukmu, Ma. Mungkin aku telah terpengaruh sama “isu lokal” yang mengatakan “hari ginii masih kirim-kirim surat? Gak gaul banget siih”, atau “GapTek luu, zaman udah serba canggih masih aja berkirim surat, kenapa gak sekalian tu pake merpati buat nganterin surat luu?” dan banyak lagi kalimat-kalimat lain yang menjatuhkan “harga diri” sebuah surat, Ma. Pasti kalau Mama tau aku sedang menulis surat untuk Mama, Mama akan bertanya-tanya, ada apa dengan diriku, bukankah kalau aku kangen sama Mama biasanya tinggal telphon atau bahkan mungkin Mama akan tertawa karena biasanya itu yang Mama lakukan, ketika aku mulai melakukan hal-hal yang menurut mama itu “aneh” Mama selalu menertawai ku, entah apa maksud yang tersimpan dibalik tawa Mama itu, hingga saat ini tak jua ku ketahui, hingga tak jarang aku menduga-duga, Ma. Mungkin Mama masih beranggapan bahwa aku adalah gadis kecilmu yang sering bertingkah “aneh”. Yaa, menulis surat untuk mama itu adalah hal “aneh” bagi Mama, karna aku sangat mengenal Mama. Dan sepertinya Mama juga terpengaruh “isu lokal” itu deh Maa. (Hee…).
Bukan Mamaku namanya, berhenti bertanya jika belum mendapatkan jawaban. Aku tau Mama akan selalu mendesakku, mencari tau untuk apa aku menulis surat ini. Entahlah Ma, entah mengapa aku menuliskan ini. Ada sebentuk dorongan dari dalam, keinginan, itu saja. Kata orang “satu” hal itu terjadi karna “satu” alasan, tapi Mama bilang padaku “sesuatu” yang kita lakukan itu tak perlu selalu harus ada penjelasannya, bukankah seperti itu, Ma?
Ma, rasanya sudah lama kita tidak bertemu. Menghabiskan waktu untuk bercerita. Dua tahun terakhir, sejak aku mulai menyibukkan diri di Organisasi, hanya sedikit sekali waktu yang bisa aku pergunakan untuk mengunjungi Mama dan keluarga di kampung. Aku tidak bisa bersikap seperti Mama, yang sesibuk apapun, Mama akan tetap menomorsatukan keluarga. Aah… anak seperti apa aku ini Ma, aku buruk untuk Mama. Tapi percayalah Ma, aku tak pernah melupakan Mama, aku selalu ingat Mama dalam setiap Do’aku. Dan jika aku teramat sangat rindu, aku hanya bisa menangis dan bercerita pada Tuhan. Dalam setiap sujudku aku selalu memohon agar Tuhan berikan Mama kesehatan, kebahagiaan, dan memberikan semua yang terbaik buat Mama. Bukannya aku cengeng Ma, tapi karna selain tuhan memang hanya air matalah yang sangat mengerti hati dan dengan air mata aku bisa merasa sedikit lebih baik.
Terakhir aku melihat Mama adalah ketika Mama terbaring lemah di Rumah sakit karna Diabetes. Seminggu Mama di Rumah sakit, tapi hanya beberapa jam saja aku bisa temani Mama. Dan lagi-lagi alasan aku meninggalkan Mama adalah Organisasi. Seakan aku lebih mementingkan nasib organisasiku dari pada wanita yang ku sebut Mama. Betapa Organisasi telah merenggut waktuku untuk Mama. Maafkan aku Ma, tidak seharusnya aku begitu, tapi aku melakukan ini demi amanah dan tanggung jawab Ma. Itu saja. Papa marah Ma, Papa melarang aku bergelut dengan “dunia” yang katanya akan merusak Indeks Prestasi ku, hal yang menyita waktuku untuk keluarga, bahkan menyita waktuku untuk diriku sendiri. Hingga tak jarang, ketika aku sakit Papa selalu “mengkambinghitamkan” kesibukanku di organisasi. Tapi, apa? Mama selalu ada untuk membelaku. Yaa… Mama selalu mengerti aku. Mama bisa meruntuhkan kerasnya karang dihati Papa, hingga sampai saat ini aku masih dapat menjaga dan menjalankan amanah dan segala tanggung jawabku disana. Kenapa hatimu begitu lapang Ma, engkau tidak pernah mempermasalahkan waktuku yang seharusnya menajadi hak mu.
Mama, aku merasa begitu buruk dan sangat berdosa Ma. Itu benar, aku pernah membuat Mama terluka, itu benar, aku pernah membuat Mama menagis, itu benar, aku sering membuat Mama kecewa. Dan itu benar, aku pernah membuat Mama sangat marah. Aku masih ingat saat dulu, Saat segumpal rasa kesalku hadir karna lampu merah yang engkau berikan, amarahku langsung memuncak. Aku mengijinkan bisikan setan dalam hatiku masuk kedalam khilafku. Tanpa ku pandang wajahmu, aku membentakmu, Ma. Aku menyalahkanmu dengan mulianya nasihat yang keluar dari mulutmu. Aku terlalu berani menentang matamu yang sayu hingga dimataku Mamalah yang bersalah. Aku marah, dan Mama membiarkanku dalam kemarahan hingga aku puas dan lelah. Tapi apa? Mama hanya diam, terpaku, dan bisu. Hanya bongkahan air mata yang menerobos tak sopan dari pelupuk kornea mata Mama yang menjelaskan betapa hancurnya hati wanita yang tak akan mungkin dapat ku balas jasanya. Lalu Mama beranjak dan pergi. Mama… aku berdosa pada Mama, aku durhaka pada Mama. cukuplah Malin Kundang menjadi pelajaran. Ampuni aku Tuhan, maafkan anakmu Ma.
Mama, aku tak ingin menangis, Ma. Tapi entah kenapa aku menangis menuliskan semua ini. Mungkin karna aku belum bisa memberikan yang terbaik bagi Mama, aku belum bisa membahagiakan Mama, aku belum bisa membuat Mama tersenyum bangga diusia Mama yang sudah mendekati senja. Hanya kekecewaan yang slalu aku hadirkan, kekhawatiranmu karna ulahku. Maaf kan aku Ma, aku cinta Mama. “Aku cinta Ibu karena Allah”. Mama tau tidak itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisha yang ia ucapkan pada Ummi dan Abinya. Ah, Mama tidak akan tau siapa itu Delisha. Dia hanyalah seorang gadis kecil tokoh rekaan dalam sebuah novel. Diusianya yang masih 6 tahun, dia mampu untuk mengucapkan kalimat indah itu buat orang tuanya. Saat aku membaca kisah Delisha, aku ingat Mama. Betapa dulu tak pernah terpikirkan olehku untuk mengucapkan kalimat seindah itu buat Mama, saat aku seusia Delisha.
Ma, sejauh ini alhamdiullah kuliah dan organisasiku lancar. Semuanya berkat do’a Mama. Aku adalah Mahasiswi tahun akhir. Aku ingin membahagiakan mama. Aku ingin Mama tersenyum dihari wisudaku kelak. Menatap bangga anakmu ini dengan memakai Toga kebesaran, dan ketika mereka memanggil namaku dengan predikat “sangat terpuji”, lalu Mama menciumku, membisikkan sesuatu, yang pasti itu do’a. Aku tau Mama tidak akan pernah lupa untuk memanjatkan kalimat-kalimat indah itu untukku karena cinta Mama adalah untaian do’a yang tak pernah berakhir untukku.
Mama, sekarang aku bukan lagi gadis kecilmu yang dulu. Aku telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang mandiri. Meski aku mandiri, aku tak pernah bisa lepas dari uluran tanganmu ketika aku terjatuh, aku masih sangat butuh hangat dekapmu ketika dunia membuatku menangis. Memang, aku bukan lagi anak kecil berusia 6 tahun yang tidak mengerti apa itu hidup dan kehidupan. Tapi menjadi orang dewasa tetap saja terlalu sulit bagiku Ma. Bagaimana tidak, aku harus memutuskan sendiri setiap tindakan yang aku ambil, dan aku harus mempertanggungjawabkan sendiri jalan yang telah aku tempuh. Aku jauh dari mu, dan aku harus bisa menjaga diriku, menopang kedua kakiku agar tetap tegap berdiri dan menapaki masa depanku. Menjaga semuanya Ma, agar aku bisa membuat Mama dan Papa bangga mempunyai anak perempuan seperti aku. Menjaga diri sendiri saja terlalu berat untukku Ma, aku membayangkan begitu beratnya Mama harus menjaga dua putrimu dan satu putramu.
Bagaimana keadaan Mama sekarang Ma? Terakhir Mama bilang Diabetes telah mematikan saraf kaki Mama. Sudah baikan kan Ma? Mama harus tetap control makannya ya Ma. panduan Diitnya diperhatikan. Jangan lupa suntik insulinnya sebelum makan, atau diganti saja dengan insulin tablet kalau mama sakit disuntik keseringan. ( Sungguh pilu, seharusnya saat Mama seperti ini aku disamping Mama, menjaga Mama, tapi aku tak bisa. Masa depanku jauh lebih penting, itu yang slalu Mama ucapkan. Hatimu sebening embun Ma, tak akan lagi aku membuatmu menangis karna air matamu jauh lebih berharga dari hidupku).
Diakhir tulisan ini, aku menyadari satu hal. Satu hal yang Mama pertanyakan diawal tadi. Yaa.. untuk apa aku menulis surat ini . Aku tau jawabannya Ma, jawabannya aku hanya ingin Mama tau betapa beruntungnya aku memiliki Mama, wanita terhebat yang pernah ku kenal, bidadari yang pernah aku miliki, dan aku bangga menjadi anakmu. Akhirnya, hanya itulah yang dapat ku tuliskan Ma. Aku tak bisa berkata- kata lagi. Terlalu banyak kasih mu padaku, terlalu banyak hal yang tak bisa ku ungkapkan lewat kata. Bukannya tak bisa, hanya saja aku tak menemukan kata yang lebih kuat dari rasaku untuk menggambarkan sosokmu. Sekalipun aku temukan, semuanya terlalu sesak. Tak akan cukup dilembaran kertas ini.
Ampuni dosa hamba Ya Allah, maafkan anakmu ini Mama…
dan jika waktu bisa berputar kebelakang, sungguh Ma, aku ingin kembali terlahir dari rahimmu, biar tak ada luka dan dosa, dan hanya tawa yang hiasi harimu…
Anakmu,
MELLIA
Bukan Mamaku namanya, berhenti bertanya jika belum mendapatkan jawaban. Aku tau Mama akan selalu mendesakku, mencari tau untuk apa aku menulis surat ini. Entahlah Ma, entah mengapa aku menuliskan ini. Ada sebentuk dorongan dari dalam, keinginan, itu saja. Kata orang “satu” hal itu terjadi karna “satu” alasan, tapi Mama bilang padaku “sesuatu” yang kita lakukan itu tak perlu selalu harus ada penjelasannya, bukankah seperti itu, Ma?
Ma, rasanya sudah lama kita tidak bertemu. Menghabiskan waktu untuk bercerita. Dua tahun terakhir, sejak aku mulai menyibukkan diri di Organisasi, hanya sedikit sekali waktu yang bisa aku pergunakan untuk mengunjungi Mama dan keluarga di kampung. Aku tidak bisa bersikap seperti Mama, yang sesibuk apapun, Mama akan tetap menomorsatukan keluarga. Aah… anak seperti apa aku ini Ma, aku buruk untuk Mama. Tapi percayalah Ma, aku tak pernah melupakan Mama, aku selalu ingat Mama dalam setiap Do’aku. Dan jika aku teramat sangat rindu, aku hanya bisa menangis dan bercerita pada Tuhan. Dalam setiap sujudku aku selalu memohon agar Tuhan berikan Mama kesehatan, kebahagiaan, dan memberikan semua yang terbaik buat Mama. Bukannya aku cengeng Ma, tapi karna selain tuhan memang hanya air matalah yang sangat mengerti hati dan dengan air mata aku bisa merasa sedikit lebih baik.
Terakhir aku melihat Mama adalah ketika Mama terbaring lemah di Rumah sakit karna Diabetes. Seminggu Mama di Rumah sakit, tapi hanya beberapa jam saja aku bisa temani Mama. Dan lagi-lagi alasan aku meninggalkan Mama adalah Organisasi. Seakan aku lebih mementingkan nasib organisasiku dari pada wanita yang ku sebut Mama. Betapa Organisasi telah merenggut waktuku untuk Mama. Maafkan aku Ma, tidak seharusnya aku begitu, tapi aku melakukan ini demi amanah dan tanggung jawab Ma. Itu saja. Papa marah Ma, Papa melarang aku bergelut dengan “dunia” yang katanya akan merusak Indeks Prestasi ku, hal yang menyita waktuku untuk keluarga, bahkan menyita waktuku untuk diriku sendiri. Hingga tak jarang, ketika aku sakit Papa selalu “mengkambinghitamkan” kesibukanku di organisasi. Tapi, apa? Mama selalu ada untuk membelaku. Yaa… Mama selalu mengerti aku. Mama bisa meruntuhkan kerasnya karang dihati Papa, hingga sampai saat ini aku masih dapat menjaga dan menjalankan amanah dan segala tanggung jawabku disana. Kenapa hatimu begitu lapang Ma, engkau tidak pernah mempermasalahkan waktuku yang seharusnya menajadi hak mu.
Mama, aku merasa begitu buruk dan sangat berdosa Ma. Itu benar, aku pernah membuat Mama terluka, itu benar, aku pernah membuat Mama menagis, itu benar, aku sering membuat Mama kecewa. Dan itu benar, aku pernah membuat Mama sangat marah. Aku masih ingat saat dulu, Saat segumpal rasa kesalku hadir karna lampu merah yang engkau berikan, amarahku langsung memuncak. Aku mengijinkan bisikan setan dalam hatiku masuk kedalam khilafku. Tanpa ku pandang wajahmu, aku membentakmu, Ma. Aku menyalahkanmu dengan mulianya nasihat yang keluar dari mulutmu. Aku terlalu berani menentang matamu yang sayu hingga dimataku Mamalah yang bersalah. Aku marah, dan Mama membiarkanku dalam kemarahan hingga aku puas dan lelah. Tapi apa? Mama hanya diam, terpaku, dan bisu. Hanya bongkahan air mata yang menerobos tak sopan dari pelupuk kornea mata Mama yang menjelaskan betapa hancurnya hati wanita yang tak akan mungkin dapat ku balas jasanya. Lalu Mama beranjak dan pergi. Mama… aku berdosa pada Mama, aku durhaka pada Mama. cukuplah Malin Kundang menjadi pelajaran. Ampuni aku Tuhan, maafkan anakmu Ma.
Mama, aku tak ingin menangis, Ma. Tapi entah kenapa aku menangis menuliskan semua ini. Mungkin karna aku belum bisa memberikan yang terbaik bagi Mama, aku belum bisa membahagiakan Mama, aku belum bisa membuat Mama tersenyum bangga diusia Mama yang sudah mendekati senja. Hanya kekecewaan yang slalu aku hadirkan, kekhawatiranmu karna ulahku. Maaf kan aku Ma, aku cinta Mama. “Aku cinta Ibu karena Allah”. Mama tau tidak itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisha yang ia ucapkan pada Ummi dan Abinya. Ah, Mama tidak akan tau siapa itu Delisha. Dia hanyalah seorang gadis kecil tokoh rekaan dalam sebuah novel. Diusianya yang masih 6 tahun, dia mampu untuk mengucapkan kalimat indah itu buat orang tuanya. Saat aku membaca kisah Delisha, aku ingat Mama. Betapa dulu tak pernah terpikirkan olehku untuk mengucapkan kalimat seindah itu buat Mama, saat aku seusia Delisha.
Ma, sejauh ini alhamdiullah kuliah dan organisasiku lancar. Semuanya berkat do’a Mama. Aku adalah Mahasiswi tahun akhir. Aku ingin membahagiakan mama. Aku ingin Mama tersenyum dihari wisudaku kelak. Menatap bangga anakmu ini dengan memakai Toga kebesaran, dan ketika mereka memanggil namaku dengan predikat “sangat terpuji”, lalu Mama menciumku, membisikkan sesuatu, yang pasti itu do’a. Aku tau Mama tidak akan pernah lupa untuk memanjatkan kalimat-kalimat indah itu untukku karena cinta Mama adalah untaian do’a yang tak pernah berakhir untukku.
Mama, sekarang aku bukan lagi gadis kecilmu yang dulu. Aku telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang mandiri. Meski aku mandiri, aku tak pernah bisa lepas dari uluran tanganmu ketika aku terjatuh, aku masih sangat butuh hangat dekapmu ketika dunia membuatku menangis. Memang, aku bukan lagi anak kecil berusia 6 tahun yang tidak mengerti apa itu hidup dan kehidupan. Tapi menjadi orang dewasa tetap saja terlalu sulit bagiku Ma. Bagaimana tidak, aku harus memutuskan sendiri setiap tindakan yang aku ambil, dan aku harus mempertanggungjawabkan sendiri jalan yang telah aku tempuh. Aku jauh dari mu, dan aku harus bisa menjaga diriku, menopang kedua kakiku agar tetap tegap berdiri dan menapaki masa depanku. Menjaga semuanya Ma, agar aku bisa membuat Mama dan Papa bangga mempunyai anak perempuan seperti aku. Menjaga diri sendiri saja terlalu berat untukku Ma, aku membayangkan begitu beratnya Mama harus menjaga dua putrimu dan satu putramu.
Bagaimana keadaan Mama sekarang Ma? Terakhir Mama bilang Diabetes telah mematikan saraf kaki Mama. Sudah baikan kan Ma? Mama harus tetap control makannya ya Ma. panduan Diitnya diperhatikan. Jangan lupa suntik insulinnya sebelum makan, atau diganti saja dengan insulin tablet kalau mama sakit disuntik keseringan. ( Sungguh pilu, seharusnya saat Mama seperti ini aku disamping Mama, menjaga Mama, tapi aku tak bisa. Masa depanku jauh lebih penting, itu yang slalu Mama ucapkan. Hatimu sebening embun Ma, tak akan lagi aku membuatmu menangis karna air matamu jauh lebih berharga dari hidupku).
Diakhir tulisan ini, aku menyadari satu hal. Satu hal yang Mama pertanyakan diawal tadi. Yaa.. untuk apa aku menulis surat ini . Aku tau jawabannya Ma, jawabannya aku hanya ingin Mama tau betapa beruntungnya aku memiliki Mama, wanita terhebat yang pernah ku kenal, bidadari yang pernah aku miliki, dan aku bangga menjadi anakmu. Akhirnya, hanya itulah yang dapat ku tuliskan Ma. Aku tak bisa berkata- kata lagi. Terlalu banyak kasih mu padaku, terlalu banyak hal yang tak bisa ku ungkapkan lewat kata. Bukannya tak bisa, hanya saja aku tak menemukan kata yang lebih kuat dari rasaku untuk menggambarkan sosokmu. Sekalipun aku temukan, semuanya terlalu sesak. Tak akan cukup dilembaran kertas ini.
Ampuni dosa hamba Ya Allah, maafkan anakmu ini Mama…
dan jika waktu bisa berputar kebelakang, sungguh Ma, aku ingin kembali terlahir dari rahimmu, biar tak ada luka dan dosa, dan hanya tawa yang hiasi harimu…
Anakmu,
MELLIA
Minggu, 04 Desember 2011
Rindu ku hanya bisa mematung
bukan karna letih, lelah, lalu menyerah
hanya saja tempatnya berlabuh kini menjauh
hingga rindu hanya bisa tertunduk
diam dalam penantiannya
Riduku tertahan disini
bukan karna tak ingin ku luapkan
segala rasa yang menyesak didada
hanya saja hati yang kurindu
tak lagi disini bersamaku
Cintaku pergi
jauh bahkan sangat jauh
hingga senyumnya tak terlihat lagi
suaranya tak terdengar,
canda dan tawanya tiada lagi temani hariku
tinggalkan ku sendiri
dalam sepi yang mematikanku
Hanya bulir air mata
yang setia temani sepiku
dan untaian doa yang mengantar rinduku
pada hati yang jauh disana
Air mataku mengering dipipi
tak ada lagi tangan lembut yang mengusapnya
tak ada lagi canda yang kembalikan senyumku
semangatku hilang,
pergi jauh terbawa olehmu
kembalilah cinta,
jagan biarkan kerinduan ini mematikan ku
kembalilah cinta,
jemput aku,
karna aku masih disini
Akan slalu setia dalam penantian
dengan sejuta rindu
dan segenap cinta
-Piyuu-
bukan karna letih, lelah, lalu menyerah
hanya saja tempatnya berlabuh kini menjauh
hingga rindu hanya bisa tertunduk
diam dalam penantiannya
Riduku tertahan disini
bukan karna tak ingin ku luapkan
segala rasa yang menyesak didada
hanya saja hati yang kurindu
tak lagi disini bersamaku
Cintaku pergi
jauh bahkan sangat jauh
hingga senyumnya tak terlihat lagi
suaranya tak terdengar,
canda dan tawanya tiada lagi temani hariku
tinggalkan ku sendiri
dalam sepi yang mematikanku
Hanya bulir air mata
yang setia temani sepiku
dan untaian doa yang mengantar rinduku
pada hati yang jauh disana
Air mataku mengering dipipi
tak ada lagi tangan lembut yang mengusapnya
tak ada lagi canda yang kembalikan senyumku
semangatku hilang,
pergi jauh terbawa olehmu
kembalilah cinta,
jagan biarkan kerinduan ini mematikan ku
kembalilah cinta,
jemput aku,
karna aku masih disini
Akan slalu setia dalam penantian
dengan sejuta rindu
dan segenap cinta
-Piyuu-
Sabtu, 03 Desember 2011
Jika Cinta ...
Jika kamu cinta
maka ungkapkanlah
karna aku tak mampu membaca isyarat
bukan tak mampu,
hanya saja aku takut
salah membaca tanda
jika kamu cinta,
maka tunjukkanlah,
bukan hanya dengan kata
apalagi sekedar janji
tapi buktikan dengan tindakan
jika cinta tulus kamu mengerti
maka cukup cintai aku seperti itu,
tak perlu lebih,
karna hanya cinta seperti itu yg ku butuh
dengan apa adanya kamu
cinta itu sederhana
tak perlu dibuat lebih
karna dia sudah sempurna
dengan segala kesederhanaan rasa
maka ungkapkanlah
karna aku tak mampu membaca isyarat
bukan tak mampu,
hanya saja aku takut
salah membaca tanda
jika kamu cinta,
maka tunjukkanlah,
bukan hanya dengan kata
apalagi sekedar janji
tapi buktikan dengan tindakan
jika cinta tulus kamu mengerti
maka cukup cintai aku seperti itu,
tak perlu lebih,
karna hanya cinta seperti itu yg ku butuh
dengan apa adanya kamu
cinta itu sederhana
tak perlu dibuat lebih
karna dia sudah sempurna
dengan segala kesederhanaan rasa
Langganan:
Postingan (Atom)